Polusi Informasi Pilpres, Siapa yang Kalah?



Pelaksanaan Pemilu serempak yang pertama kali digelar di Indonesia sudah dilaksanakan sesuai tahapan, Rabu, 17 April 2019. Prestasi bagi bangsa ini, karena Pemilu dilaksanakan dengan damai, aman, dan konon dengan partisipasi pemilih sekitar 81%. Amazing. Semuanya menakjubkan. Ini sebuah kebanggaan. Tidak ada pertikaian selama pelaksaan Pemilu kemarin. Tidak ada TPS yang dirusak. Tidak juga ada kekerasan, perkelahian, apalagi pertikaian darah. Yang ada adalah berduyun-duyunnya masyarakat datang ke TPS. Semua seperti ingin terlibat aktif untuk ikut memilih. Merayakan pesta demokrasi lima tahunan ini.

Kita patut berbangga dengan demokrasi yang sudah menjadi ''iman'' bagi negeri ini dengan one people, one vote. Tidak terdapat konflik berarti dalam prosesi pencoblosan atau penusukan kertas suara di dalam TPS kemarin. Kekhawatiran soal politik uang memang menjadi dominan. Dan itu masih menjadi musuh laten demokrasi kita. Tapi itu seperti tertutup oleh kesuksesan  pelaksanaan pemilu yang benar-benar damai, menyejukan bagi kita dan menunjukan semakin MATANGNYA rakyat Indonesia dalam berdemokrasi.

Sayangnya, begitu prosesi pencoblosan selesai, kita disuguhi dengan informasi dan berita-berita yang membuat prihatin. Terutama terkait dengan pelaksanaan Pilpres. Ini tidak lepas dari saling klaim kemenangan dua kubu, baik kubu petahanan Joko Widodo-Makruf Amin maupun kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Kedua-duanya sampai saat ini menyatakan diri sebagai pemenang. Kubu petahana mendasarkan diri pada proses quick qount dari sekitar 12 lembaga survey. Sementara dari kubu penantang berdasarkan penghitungan internal mereka berdasarkan data dari form C1 plano.

Keributan terjadi. Bukan di tengah-tengah masyarakat secara langsung. Tapi di media sosial. Di tengah masyarakat damai-dama saja. Tapi di medsos tidak demikian. Perang tagar dalam hitungan jam terjadi. Saling klaim dengan menunjukan data dilakukan kedua kubu. 

Awalnya menarik memang, tapi semakin lama menjemukan, menjenuhkan, bahkan menjengkelkan. Informasi menjadi sedemikian liar. Apalagi ketika kita melihat cara kerja KPU yang kurang perform. Mereka gagal menunjukan sisi kredibilitas dan kemampuan di tengah biasanya informasi yang ada. Penyelenggara Pemilu sukses dalam tahapan sampai ke pencoblosan. Tapi begitu selesai, mereka gagal dalam memberikan pengetahuan sekaligus informasi yang kredibel di tengah masyarakat.

Di sini masalahnya. Bayangkan, masyarakat tidak bisa dengan cepat mendapatkan informasi soal perhitungan suara yang ada. Bahkan situs KPU sempat down. Alasannya karena banyaknya data yang masuk atau traffic yang tinggi. Bagaimana mungkin mereka dibekali anggaran triliunan rupiah tidak bisa mengantisipasi soal situs atau server untuk menampung data-data perhitungan suara. Ini benar-benar tidak bisa diterima. Kelas KPU harus bisa mengantisipasi cara kerja bertaraf nasional. Seharusnya itu bisa diantisipasi sejak awal.

Begitu KPU gagal menyediakan informasi cepat, maka yang terjadi adalah liarnya informasi dan data-data. Kedua kubu saling mengklaim menang berdasarkan data yang mereka punya. Satu berbasis quick qount, satu berdasarkan perhitungan internal mereka. Anehnya saling deklarasi kemenangan juga dilakukan kedua kubu. Tidak ada yang merasa  dan mengaku kalah. Apa-apaan ini? Pemilu semuanya mengklaim menang? Terus siapa yang kalah?

Kita tiba-tiba disuguhi polusi informasi. Tercemarnya ruang publik dengan karbon kotor informasi yang tidak membuat kesejukan dan keteduhan. Publik dibuat kebingungan. Jika ini berlarut-larut maka akan muncul kemuakan. Masyarakat sudah memberi contoh bagaimana tingkat partisipasi yang tinggi dan komitmen menghadirkan pesta demokrasi yang damai. Kurang apa lagi? Mereka tidak mau untuk berkonflik dan berbuat keributan hanya karena soal pilihan. 

Tapi persoalannya adalah di elit politik dan KPU? Kedua aktor ini harus bisa memberikan contoh juga bahwa mereka kredibel. Jangan sampai masyarakat sudah memberikan warna damai dan kerukunan, namun elit serta KPU justru sebaliknya. Elit parpol, calon presiden dan pendukungnya, tidak perlu melakukan provokasi-provokasi. Masyarakat jengah akan hal-hal seperti itu. Demikian juga KPU, bekerjalah dengan standar tinggi. Harapan begitu tinggi di tangan mereka sebagai penyelenggara pemilu. Kinerja mereka harus dipush agar informasi bias soal data-data perhitungan suara bisa clear.

Protes di medsos, soal perhitungan melalui Situng yang tidak sesuai dengan form C1 plano di TPS harus direspons cepat. Ini untuk menjawab tuduhan tidak ada kecurangan melalui proses teknologi digital. Mau curang akan menjadi persoalan berat, karena sekarang pasti akan terdeteksi dengan kehadiran teknologi dan transparansi yang ada. Jika kecurangan dilakukan, maka KPU akan sulit melepaskan ini dari beban sejarah di masa depan.

Tapi saya yakin itu tidak terjadi. Yang dibutuhkan sekarang adalah bagaiamana KPU menunjukan perform yang bisa meyakinkan masyarakat, bahwa mereka memang lembaga penyelenggara pemilu yang kredibel. Percepat perhitungan suara, jangan terlalu lama. Begitu prosesnya terlalu lambat, maka akan semakin memunculkan gap ketegangan di ruang publik. Itu tidak kita inginkan. Kata kuncinya adalah kinerja KPU. Karena yang menjadi dasar penetapan pemenang Pilpres adalah perhitungan dari KPU. Bukan dari quick qount atau perhitungan internal dari pasangan calon. Sebaiknya polusi informasi pilpres ini segera disudahi untuk bangsa ini segera melangkah mengerjakan hal-hal lain yang lebih produktif. (trisno suhito) 




 





 













Comments

Popular posts from this blog

Mengintip Kehidupan Lokalisasi di Batang (2)

Makam Syeikh Maulana Maghribi Wonobodro, Batang

Mengintip Kehidupan Lokalisasi di Batang (3)