Makar

Makar. Satu kata ini sudah lama sekali tidak terdengar dalam beberapa fase pemerintahan di negeri ini setelah reformasi. Namun di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), kata makar begitu mudah kita dengar. Kita tiba-tiba begitu familiar dengan diksi tersebut.

Ini tidak lepas dari banyaknya pemberitaan penangkapan pengkritik atau orang-orang yang anti pemerintahan Jokowi. Hari-hari ini, apalagi setelah Pilpres dimenangkan Jokowi-Makruf Amin, makar menjadi mantra sekaligus semacam penghukuman.

Mereka yang berseberangan dengan Jokowi dan mendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ditangkap dengan alasan makar. Saya bukan pendukung  Prabowo dan Jokowi. Apalagi sampai mengkultuskan dan cinta berlebihan dengan mereka. Ini arena politik. Salah jika kita fanatik terhadap seseorang. Sebab jika fanatik, artinya kita menanggalkan rasionalitas. Dalam demokrasi kita tetap harus menggunakan rasionalitas, sekaligus mengembangkan daya kritis, dipandu prinsip-prinsip membangun kemajuan bangsa. 

Namun kata makar yang sudah bertahun-tahun tidak kita dengar dan tertimbun dalam karpet sejarah, saat ini kembali hidup mengisi ruang publik. Apalagi setelah Jokowi dipastikan kembali memenangkan Pilpres. Ada apa ini? Setelah reformasi digulirkan 20 tahun lalu, kita berkomitmen untuk menjadikan demokrasi sebagai peta jalan kehidupan bangsa. Namun kata makar yang mudah dituduhkan pada orang-orang yang mengkritik pemerintah adalah bagian dari antitesa terhadap demokrasi. Ketika kritik dimaknai melawan pemerintah, dan mau menggulingkan kekuasaan, maka itu akan membahayakan demokrasi.

Kita patut khawatir, jika kata makar menjadi tongkat pemukul bagi mereka yang berseberangan dengan rezim pemerintah. Siapapun yang berani mengkritik pemerintah, akan berhadapan dengan aparat hukum. Bahkan dilabeli orang yang akan menggulingkan kekuasaan. Ini berlebihan. Aparat hukum berdalih misalnya, mereka menangkap orang-orang yang akan melakukan people power karena itu ditangkap dengan alasan mau makar. Apakah segampang itu? People power tidaklah mudah. Sebab membutuhkan kesiapan berbagai faktor untuk menggulingkan kekuasaan. Ada perkumpulan sampai gerakan di lapangan untuk menyerang pemerintah yang sah. Jika itu baru sebatas ucapan, jangan dihakimi dengan hukum.

Coba kita lihat misalnya, apakah benar orang seperti Amien Rais, Egi Sudjana, Lies Sungkharisma memiliki kemampuan menggalang kekuatan menggulingkan kekuasaan? Jujur saja, seberapa mampu mereka bisa melakukan makar. Mereka tidak punya basis kekuataan yang riil untuk bisa melakukan makar.  Mereka hanya mengekspresikan kekecewaan terhadap pelaksanaan pemilu karena menengarai ada kecurangan. Mereka melakukan protes dan kemudian muncul kata-kata people power. Itu adalah ekspresi kekecewaan.

Jangan Dihidupkan

Karena itu, kita sangat khawatir jika kata makar kembali dihidupkan. Ini akan mengancam demokrasi. Kemana para aktivis yang dulu mencerca pemerintahan Soeharto yang disebut anti demokrasi dan melakukan pembungkaman terhadap para pengkritik dengan dilabeli makar pada pemerintahan yang sah. Mereka sekarang berada di panggung kekuasaan, tapi diam. Mereka ternyata menikmati kekuasaan.

Jangan-jangan ketika mereka berada di kekuasaan saat rezim Soeharto, juga akan melakukan hal yang sama. Diam ketika pemerintah merepresi mereka yang tidak sejalan dengan kekuasaan. Ternyata hanya soal peluang berkuasa. Begitu mereka berkuasa, mereka merasa nyaman dan kehilangan daya kritisnya. Demikian juga media. Saat ini minim sekali yang mengkritisi penggunaan kata makar dalam penangkapan orang-orang yang dianggap anti pemerintah. Ini juga menjadi keprihatinan.

Hal yang sama juga untuk para aktivis atau orang-orang yang mendukung Jokowi, meskipun tidak ada di barisan kekuasaan. Mereka merasa tidak ada yang salah dengan penggunaan kata makar di pemerintahan saat ini. Hal yang normal sebagai bagian dari proses politik. Mereka tidak memahami ini bukan hanya soal politik atau kekuasaan, tapi soal ide yang hidup dalam alam pikir pemerintah dan bisa mengancam demokrasi.

Pagi ini, kita dikejutkan oleh kabar meninggalnya satu orang dalam kericuhan demonstrasi di daerah Tanah Abang Jakarta, setelah demonstrasi di Bawaslu. Sementara beberapa orang lainnya mengalami luka tembak. Ini juga memunculkan keprihatinan. Kita tidak mau menyalahkan siapa yang salah dan siapa yang benar dari kejadian tersebut. Tapi cara pemerintah memandang persoalan politik saat ini dengan pendekatan kekuasaan dan represi harus diingatkan. Apa yang dilakukan pemerintah membahayakan demokrasi. Jangan diteruskan pendekatan kekuasaan dan represi. Sebab jika itu terus dilakukan maka akan ada hukum alam; Perlawanan.

Ini akan memicu pembelahan dalam masyarakat. Pemerintah harusnya menggunakan cara-cara diplomasi untuk merangkul elemen-elemen yang terlibat dalam kompetisi Pilpres. Bangun kembali semangat membangun harmoni kehidupan bangsa. Tanggalkan dendam dan rasa kecewa pada kelompok lain. Bikin sesuatu yang menyejukan dan bukan justru memukul. Begitu pilihan memukul yang diambil, maka akan ada kekuatan pembandingnya; perlawanan. Cepat atau lambat jika itu tidak dinetralisir dengan kekuatan membangun harmoni, maka perlawanan itu akan terus hidup. Bahkan bisa membesar. Jika itu hadir, maka yang dirugikan adalah demokrasi dan kehidupan bangsa. Potensi kita untuk membangun kemajuan kehidupan berbangsa dan mengejar ketertinggalan dari bangsa lain akan tersendat.

Pemerintah saat ini boleh merasa aman karena dilindungi kekauasaan dan aparat hukum. Tapi ingat, ketika kekuasaan sudah keterlaluan, maka alam tidak akan mengizinkan. Kekuasaan tetap ada batasnya. Saat ini bisa jadi tidak ada tokoh atau kelompok yang menyatukan energi melakukan perlawanan. Bukan semata pada pemerintah, tapi pada mereka yang bersikap anti demokrasi.  Namun peluang kehadiran tokoh itu akan ada. Sebab pemerintah sendiri yang menciptakan prasyarat untuk itu.

Rezim Orde Baru sudah memberi contoh, begitu semangat anti demokrasi yang dimunculkan untuk melindungi kekuasaan, maka meniscayakan kehadiran tokoh-tokoh atau kelompok yang melakukan perlawanan. Mereka kemudian menjadi magnet bagi media bahkan publik, serta membangun energi ke berbagai penjuru. Jika sudah begitu, maka kita tidak berharap lagi soal lompatan bangsa ke depan. Karena kita akan disibukan dengan hal-hal yang terkait dengan persoalan kekuasaan. Bukan pada yang bersifat kualitatif untuk mendorong kemajuan bangsa.

Kita tidak menginginkan hal seperti itu. Karena konflik semacam ini hanya akan memangkas waktu peluang kita menjadi bangsa yang maju. Karena itu, lebih baik pemerintah menghentikan penyebaran kata makar untuk menghukum orang-orang yang berseberangan dengan mereka. Jangan gunakan instrumen hukum dan kekuasaan secara semena-mena pada mereka yang melakukan kritik. Kita tidak ingin pembelahan dalam Pilpres terus berlanjut.

Pemerintah yang harus punya inisiatif untuk menyatukan kembali perbedaan politik yang ada. Merangkul, bukan memukul. Karena, jika memukul, maka potensi untuk munculnya konflik lebih besar akan hadir. Tidak ada manfaatnya sama sekali. Sekali lagi, kita khawatir hal seperti ini akan memperlambat pencapaian cita-cita kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat. Kita juga akan semakin tertinggal dari bangsa lain yang sudah maju. Demokrasi harusnya menjadi jembatan untuk mendorong kemajuan bangsa dan mensejahterakan masyarakat, bukan justru sebaliknya. (trisno suhito)







Comments

Popular posts from this blog

Mengintip Kehidupan Lokalisasi di Batang (2)

Makam Syeikh Maulana Maghribi Wonobodro, Batang

Mengintip Kehidupan Lokalisasi di Batang (3)