Mengintip Kehidupan Lokalisasi di Batang (1)


Menjaring Rupiah, Menebar AIDS

Perkembangan prostitusi sudah begitu meluas di Batang. Tujuh lokalisasi dan non lokalisasi kini hadir tanpa penolakan masyarakat dan pencegahan dari Pemkab. Belum lagi keberadaan warung remang-remang di pinggir jalan sepanjang jalur Pantura yang juga menyediakan layanan plus-plus.

Data dari KPA, kini ada 475 perempuan yang  menjalankan profesi sebagai Wanita Pekerja Seks (WPS) di Batang. Mereka tak hanya berasal dari Batang, tapi juga datang dari berbagai kota lain yang ingin mendapatkan rupiah dari dunia esek-esek ini.

Meski penderita HIV/AIDS terus meningkat dan perkembanganya sangat mengkhawatirkan, namun bukan berarti tempat-tempat prostitusi sepi peminat. Kawasan penyedia jasa layanan seks ini seperti magnet yang tetap ramai dikunjungi laki-laki yang ingin mendapatkan pelayanan bertarif dari para WPS. 

Seperti di Lokalisasi Penundan, Banyuputih, Selasa  (26/10), siang kemarin. Di lokalisasi terbesar di Batang ini, berbagai perempuan muda dengan make up tebal sudah 'nyanggong' di depan kos mereka. Ada yang sambil mengobrol dengan pria yang mendatanginya. Ada juga kumpulan perempuan berbaju minim yang sedang menikmati permainan kartu domino untuk mengisi kekosongan.

Beberapa  dari mereka ada yang baru selesai mandi, lalu keluar untuk menjemur handuk yang dipakainya. Sementara, mobil-mobil mewah tampak berseliweran di tempat ini. Bahkan, sudah ada beberapa yang berhenti di depan kos hunian WPS. Kemungkinan sedang melakukan transaksi. Padahal,  waktu baru menunjukan sekitar pukul 11.00 dan belum beranjak siang betul.

''Saya sudah dua tahun di sini,'' ujar Nurhayati (29), seorang WPS asal Tangerang, Jawa Barat.

Perempuan berambut panjang ini menyatakan, dirinya sebenarnya tidak sengaja bekerja menjadi WPS di Penundan.

Sebab, dulu ia yang menjadi pembantu rumah tangga di Jakarta dijanjikan bekerja di restauran oleh perempuan yang membawanya. Namun tak disangka, ia justru dijerumuskan  untuk bekerja di tempat prostitusi.
Perempuan beranak satu ini sebenarnya ingin lepas dari dunia prostitusi, tapi seolah tak berdaya. Sebab, ia yang telah bercerai harus sendirian menanggung biaya anaknya yang kini sudah duduk di kelas 6 SD.

''Tahunya seperti ini.  Mau pulang tidak punya duit. Dibilangin sama tetangga macam-macam, termasuk buat masa depan. Akhirnya kejeblos juga,'' katanya sambil terbahak.

Nur, begitu ia disapa, memasang tarif minimal Rp 100 ribu per sekali main dengan pelanggan yang datang. Namun, kadang pelanggan ada yang memberikan uang lebih dari tarif yang dipasang dirinya. Dalam satu hari, ia mengaku, jumlah pelanggan yang datang padanya tidak pasti.

''Tergantung rejeki. Kadang dapat, kadang tidak. Pernah satu hari minimal tiga orang. Sekali main short time Rp 100 ribu. Kalau lebih dari jam 12 dan bermalam Rp 300 ribu,'' tuturnya.

Di Penundan, bukan hanya 'pemain lama' saja yang kini beroperasi. Banyak juga WPS baru yang datang untuk mencoba peruntungan mencari nafkah setelah bekerja di tempat prostitusi lain. Bagi penghuni baru ini ada istilah untuk menyebut mereka sebagai 'barang baru stok lama', yang kadang justru menarik lelaki hidung belang untuk menawarnya.

''Saya baru satu minggu di sini. Sebelumnya di lokalisasi Batam,'' ujar Rini (25), seorang WPS asal Indramayu, Jawa Barat.

Rini mengaku dirinya bosan di Batam. Karena itu, ia ingin pindah di lokalisasi lainnya. Kebetulan ada temannya yang kini juga berada di Penundan. Dan di Penundan, ia justru merasa kerasan tinggal di situ. 

''Cari suasana baru, masa di Batam saja. Di sini tempatnya enak, masalah kesehatan dijamin,'' tutur Rini.

Perempuan berambut sebahu ini mengaku sudah menjalani profesi sebagai WPS sejak berusia 15 tahun. Pertama kali ia jalani di kotanya sendiri di Indaramayu.Setelah itu ia pergi ke Batam di usia 20 tahun. Dan kini, ia menjalankan profesinya di Penundan. Seperti juga kebanyakan WPS lainya, faktor keterbatasan ekonomi membuat ia mau terjun ke dunia hitam ini. 

''Dulu untuk membiayai adik sekolah. Orang tua tani. Sekarang mau mengumpulkan buat sendiri,'' katanya.

Meski penghuni baru, Rini cukup dikenal memiliki banyak peminat, seperti dikatakan Wakil Ketua Pengurus Paguyuban Lokalisasi Penundan Slamet S. Bahkan ketika ia pulang kampung, cukup banyak laki-laki yang menanyakannya.

Rini mengatakan, tahu bahaya virus HIV/AIDS dari pekerjaanya saat ini. Ia juga takut tertular penyakit yang belum ada obatnya tersebut. Karena itu, ia berusaha membujuk tamu-tamunya untuk menggunakan kondom. Ini untuk menghindari resiko terjadinya penularan. Meski sudah diminta, namun ada saja tamu yang tetap tidak ingin memakai kondom. 

''Ada rasa takut juga. Selama ini pakai kondom. Tapi tergantung tamunya. Saya sudah sedia kondom,'' tuturnya.

Seperti juga Rini, Endah (34), merupakan  WPS yang baru beberapa hari  tinggal di Penundan. Namun, Endah adalah 'pemain lama' yang kini kembali mencari nafkah di Penundan. Sudah lebih dari 10 tahun, perempuan asal Pati ini meninggalkan kehidupan menjajakan tubuh  dan hidup di kampung halamanya. Namun, persoalan ekonomi membuat ia memilih kembali ke tempat bekerjanya dulu.

''Saya baru 10 hari di sini. Sudah 11 tahun saya berhenti. Lagi ada masalah. Pingin main-main lagi. Selama ini di rumah,'' tutur perempuan ayu berambut panjang ini.

Endah dulu merupakan salah satu primadona Penundan. Kini, meskipun usianya sudah tidak muda lagi, ia masih berharap mendapatkan rezeki di tempat ini. Sebab, ia mesti menghidupi anak semata wayangnya yang kini sudah beranjak dewasa. Sementara, dirinya sudah berpisah dengan mantan suaminya.

''Ingin mencari nafkah lagi demi anak. Sebelumnya dagang kecil-kecilan,'' tuturnya.

Endah yang cuma lulusan SD ini ingin sekali membiayai anaknya sampai ke perguruan tinggi. Dan ia bertekad untuk melakukannya. Kepada anak dan keluarganya, ia tidak pernah bilang pergi bekerja menjadi WPS. Sebab, jika tahu maka keluarganya akan sangat marah. Demi menjaga kesehatanya, ia yang memasang tarif sekali main Rp 100 ribu ini memegang teguh prinsip penggunaan kondom. Sebab ia sangat takut jika sampai terkena HIV/AIDS. Karena itu, ia lebih memilih tidak mendapatkan uang jika sang tamu enggan memakai kondom.

''Walah benar-benar takut sekali. Kita sedia kondom. Kalau tamu, bagaimana caranya kita merayu. Masalahnya buat saya sendiri. Masa kita mau membunuh diri sendiri,'' tuturnya. (trisno suhito).

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengintip Kehidupan Lokalisasi di Batang (2)

Makam Syeikh Maulana Maghribi Wonobodro, Batang

Mengintip Kehidupan Lokalisasi di Batang (3)