Media Sosial dan Cara Berpikir Biner

Apa yang menarik dari media sosial (medsos) hari ini? Mendekati Pemilu 2019, kebisingan terjadi. Terutama oleh hal-hal remeh temeh soal dukung mendukung dua pasangan calon presiden Joko Widodo-Makruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno. Saling menyerang, memaki, dan mengkritik dengan bahasa sarkas terjadi. Kita seperti di tengah-tengah rimba raya aduan kekecewaan dan cacian antara dua pendukung pasangan calon ini.

Ironisnya, banyak tokoh-tokoh nasional yang juga larut dalam kondisi ini. Bahkan mereka menjadi bagian dari provokasi situasi yang ada. Kita harus akui, kehadiran media sosial sebenarnya juga membawa banyak hal positif. Dengan media sosial, jarak dan waktu dalam berkomunikasi bisa dilakukan realtime. Informasi tersaji sangat cepat. Media sosial juga bisa menghubungkan siapapun orang di dunia ini dengan mudah. Namun kita juga melihat ada beberapa sisi negatif media sosial yang harus diperhatikan.

Hari-hari ini, media sosial mempengaruhi pola pikir kita. Terutama pola pikir menjadi biner. Hanya mengenal dua hal; hitam-putih, lawan -kawan, sahabat-musuh. Ini tidak lepas dari konstruksi media sosial yang juga membentuk pola interaksi kita.

Di media sosial, kita diberikan pilihan yang sangat terbatas. Friend-unfriend, like-undislike, follow-unfollow. Tidak ada pilihan lain. Ini membuat konstruksi berpikir kita ikut menjadi biner. Hanya ada dua pilihan. Media sosial membuat simplifikasi dalam cara berpikir kita. Sangat sederhana dan dangkal. 

Media sosial menyuburkan banalitas. Selain menjadikan kita berpikir biner, jika kita tidak hati-hati dan kritis, media sosial bisa mendorong psikologi kita untuk ikut-ikutan larut dalam provokasi. Hanya ada musuh dan lawan. Teman dan bukan teman. Pengikut dan bukan pengikut. Padahal kehidupan ini spektrumnya sangatlah luas. Ada orang  misalnya, tidak cocok dengan Joko Widodo. Tapi bukan berarti dia mendukung Prabowo Subianto. Dia tidak suka karena berangkat cara berpikir kritis yang dimunculkan, melihat kebijakan-kebijakan pemerintahan Joko Widodo yang dinilai banyak yang tidak tepat untuk mendorong kesejahteraan masyarakat.

Namun bukan berarti dia itu juga senang dengan Prabowo Subianto. Dia belum bisa mengkritisi Prabowo Subianto karena saat ini mantan Danjen Kopasus tersebut belum pernah memimpin pemerintahan. Bukan berarti dia atau orang-orang yang tidak suka dengan Joko Widodo mendukung Prabowo Subianto. Namun karena simplifikasi yang dibuat media sosial dengan pilihan terbatas, follow-unfollow, friend-unfriend, like-undislike, tidak memberi ruang bagi kita untuk mendapatkan spektrum yang lebih luas dari itu. Misalnya tidak ada pilihan sangat suka, suka, sedikit suka, tidak terlalu suka, suka karena apa, dan lainnya. Soal pilihan, bahkan lebih luas dari itu, baik buruk bukanlah sesuatu yang biner. Ada skala yang lebih luas daripada hanya soal dua pilihan yang membatasi pikiran kita. 

Kita berharap, bukan bagian dari netizen yang mudah terprovokasi oleh apa yang ada di media sosial. Jangan sampai kita hilang kekritisannya hanya karena pengaruh media sosial. Atau, larut dalam hutan belantara informasi yang kita telan mentah-mentah begitu saja. Janganlah kita menjadi orang yang malas berpikir dan melupakan kedalaman. Teknologi, termasuk media sosial, memang punya kekuatan untuk melakukan determinasi pada pikiran. Namun jangan sampai kita menjadi korban. Hanya sekedar menjadi objek dari konten-konten yang disediakan.

Kita harus menjadi subjek yang tetap berpikiran terbuka.  Kritis dan skeptis dengan informasi apapun yang ditampilkan. Pilihan harus ditentukan berdasarkan rasionalitas kita. Bukan oleh orang lain, apalagi karena terpaan media sosial.

Kita tentu ingat, bagaimana peranan Cambridge Analytica yang bisa ikut memenangkan Donald Trump dalam Pilpres di Amerika Serikat mengalahkan Hillary Clinton karena memanfaatkan pengaruh di media sosial. Cambrige Analytica adalah skandal yang melibatkan pengumpulan jutaan informasi pribadi pengguna Facebook. Data ini digunakan untuk memengaruhi pandangan pemegang hak pilih sesuai keinginan politikus yang mengontrak Cambridge Analytica. Termasuk dalam pemenangan Donald Trump di Pilpres Amerika Serikat.

Informasi tersebut kemudian diolah untuk memapar pengguna media sosial agar sesuai dengan konstruksi psikologi yang diinginkan. Kita tentu tidak ingin menjadi objek di tengah-tengah hiruk pikuk  media sosial. Jangan mau untuk dibentur-benturkan. Apalagi diajak untuk memusuhi orang lain  hanya karena soal beda pilihan, berbeda baju organisasi, aliran, suku, agama, bahkan wilayah. Cara berpikir kita harus tetap kita bangun dengan kecerdasan, kematangan psikologi dan subtansial. Kita ingin demokrasi kita semakin maju. Dan itu harus diimbangi dengan kekuatan pikiran, terus menghargai perbedaan dan selalu berpikir jauh ke depan.





Comments

Popular posts from this blog

Mengintip Kehidupan Lokalisasi di Batang (2)

Makam Syeikh Maulana Maghribi Wonobodro, Batang

Mengintip Kehidupan Lokalisasi di Batang (3)