Jawa yang Gagal

Bisa apa kita sebagai umat Islam dan bagian masyarakat timur dengan modernisme/globalisasi? Modernisme harus diakui adalah produk barat dimana kita (sbg muslim dan timur) tidak pernah dilibatkan untuk ikut merancang bangun peradaban ini. Kita hanya diminta untuk menerimanya. Melalui penaklukan, kolonialisme-imperialisme yang dilakukan barat dari dulu sampai sekarang. Kita (sbg muslim dan timur) sesungguhnya dibawah supremasi mereka; baik politik, ekonomi, budaya, sampai dengan intelektual.

Kita dipaksa untuk meninggalkan dan menanggalkan akar budaya dan kedirian kita untuk terlibat dan menjadi barat melalui modernisme. Cak Nur pernah menyatakan, modernisme bukanlah barat atau westernisasi, ia adalah gejala global seperti layaknya demokrasi. Tapi, benarkah demikian? Sebagai konstruksi sosial, kita harus akui modernisme memuat prinsip-prinsip yang bisa kita terima (rasionalitas, ilmu pengetahuan,dsb). Tapi, kita juga harus kritis bahwa ia dibangun dari logika-logika yang yang kemudian dipaksakan sebagai kebenaran tunggal dunia. Ia membangun otoritas tunggal untuk menyatakan kemajuan, dunia yang baik, universalitas yang harus diterima oleh the other, yaitu kita-kita ini. Masyarakat non kulit putih, di luar eropa, tidak berambut pirang, dan disebut bodoh serta tertinggal oleh mereka.

Kita (umat Islam dan timur) sesungguhnya mengalami kekalahan telak dari barat. Hampir semua makna-makna kehidupan ditentukan dalam logika dan parameter barat melalui transformasi modernisme yang kini maujud dalam bentuk globalisasi. Kita hidup dalam sebuah keterasingan nilai sesungguhnya karena kita hadir bukan sebagai Islam, Jawa, Timur yang otentik. Tapi, sudah ‘dipaksa’ melalui berbagai mekanisme dan instrument untuk mengikuti sebagai barat. Menjadi manusia global yang modern. Menjadi orang-orang yang mengikuti falsafah hidup mereka.

Barat, modernisme atau globalisasi jelas membangun fondasi tata nilai berdasarkan faham rasionalitas instrumental, untransendensi, matrealisme, ekonomisme, individualisme dan sekularisme. Mereka dinamis dan maju sebagai peradaban dengan itu semua. Termasuk ketika melahirkan sistem ekonomi kapitalisme yang membuat mereka menjadi agresif untuk melakukan tindakan-tindakan anti kemanusiaan melalui fase kolonialisme yang sampai sekarang dilakukan.

Bangunan masyarakat yang matrealis, ekonomisme sebagai penopang, individual, industri, kekuasaan pasar, sekular, telah menjadi paham yang sekarang, sadar atau tidak, diakui ataupun tidak, itu sudah menjadi konstruksi dunia the other. Inilah kemenangan barat. Kemenangan ideologi mereka. Pantaslah Fukuyama menyatakan the end ideologi, tidak ada ideologi selain kapitalisme, pasar. Saya tidak mau sekedar menyebut kapitalisme, tapi barat. Kemenangan barat yang tentu saja tidak dibangun instant, tapi melalui proses panjang dan memakan banyak energi bahkan korban.

Kembali ke pertanyaan semula, lalu bisa apa kita dengan kemenangan mereka? Akankah kita ikut melakukan perayaan atas kehadiran modernisme yang menawarkan begitu rupa keelokan dunia. Akankah kita menolak secara habis-habisan sistem ini sehingga kita menjadi orang yang ekstrim dalam melihat dunia. Atau kita melakukan penyiasatan atas sistem yang tersanding dengan pengolahan diri yang membuat kita menjadi manusia modern tapi kritis?

Pastinya, aku merasa terasing betul dengan jati diriku. Sebagai orang Jawa, aku sebenarnya hanya tinggal fisik dan tutur bahasa saja. Secara filosofi dan pemaknaan hidup aku bukanlah Jawa. Aku sudah barat. Dalam pengertian ditundukan oleh mereka. Meski perlawanan itu setiap saat kulakukan dengan mencoba melakukan pemahaman melalui agama yang aku anut, Islam. Aku terus meng-Islam agar hidupku menuju ke sana. Tapi, aku gagal menjalani proses meng-Jawa. Sama sekali aku tidak melakukan fase pencarian dan penjelajahan itu. Sempat beberapa waktu kemarin kulakukan, tapi tampaknya berhenti. Sebab, tiada partner, komunitas maupun suasana untuk menopangnya.

Ke-Jawaan-ku benar-benar diambang penghabisan. Kalau Pram A Toer dengan sadar meninggalkan dirinya sebagai Jawa, kita patut hargai. Sebab ia membangun melalui proses kesadaran. Ia belajar betul dari falsafah, sejarah dan pengalaman sampai pada keputusan menolak Jawa hadir dalam dirinya. Tapi aku? Produk pendidikan ngawur negara yang tidak memberi perhatian sama sekali soal pemahaman etnis dan budaya. Diminta meminum pil modernitas melalui pelajaran sekolah. Secara tidak sadar tapi konsisten diminta menanggalkan etnisku tanpa ada upaya upaya penyadaran yang menaungi. Tiba-tiba ‘disadarkan’ ketika kuliah. Seakan hati remuk redam merasakan dan melihat kenyataan ini.

Aku dicerabut dari akar tempatku. Di buang dari kesadaran bumiku berpijak dengan segala bangunan falsafah-budaya yang tidak dan belum sempat ku mamah. Aku hadir sebagai ‘anak budaya buangan’. Yang bukan asli, otentik, tapi cangkokan yang sungguh mengerikan karena ini juga terjadi secara massal, tanpa bisa dihentikan. Tanpa dapat distop, cuma dilawan dengan sayup-sayup. Secara personal, komunal sebaga bangsa kita gagal membangun strategi perlawanan kebudayaan. Secara fisik aku, kita adalah Jawa. Tapi, secara jiwa, otak, rasa, orientasi kita adalah barat. Tepatnya dipaksa membarat. Sekali lagi ini massal. Artinya, terjadi penaklukan luar biasa terhadap bangsa ini. Sebab, aku yakin orang Sumatera, Aceh, Sunda, Sulawesi, Papua juga mengalami hal yang sama. Tidak hanya Jawa! Bahkan ini terjadi secara global. Bukan hanya fenomena, tapi fakta nyata di belahan dunia manapun.

Betapa mengerikannya berhadapan dengan kenyataan ini. Ratusan ribu bahkan jutaan otak manusia, jiwa-jiwa mereka diminta untuk mengakui dan tunduk pada satu kekuataan yang mendominasi dan melempar mereka dari ‘tanah air pandangan hidupnya’. 
  
Catatan seorang mahasiswa, selasa, 15 Oktober 2007

Comments

Popular posts from this blog

Mengintip Kehidupan Lokalisasi di Batang (2)

Makam Syeikh Maulana Maghribi Wonobodro, Batang

Mengintip Kehidupan Lokalisasi di Batang (3)