Negeri Imitasi


Bangsa yang kosong. Ini penggambaran terhadap Indonesia sekarang ini. Negeri ini seolah berjalan tanpa isi, identitas dan menjadi pemamah globalisasi tanpa prestasi. Indonesia kini menjadi syurga pelahap materialisme yang dicontohkan oleh Soeharto dan Orde Barunya. Ia begitu kering dengan ukuran-ukuran fisik materi, tapi tanpa vitalitas untuk unggul dibanding bangsa lain.

Kita kehilangan nation building dan character building sebagai syarat utama eksistensi sebuah bangsa di tengah kompetisi dunia. Di antara pergaulan beragam negeri yang terus saling bergerak untuk ‘menang dan maju’. Kita tidak punya strategi untuk menang, tapi menyerahkan diri sebagai pecundang. Kita puas dengan kondisi yang ada; dengan warna materialisme, dengan kesenjangan kaya dan miskin yang semakin seperti jurang, dan ‘puas’ juga dengan para pemimpin kita yang tidak becus mengurus negeri ini.

Atau kita memang tidak sadar dengan apa yang kita alami sehari-hari ini. Terlalu lama otak anak ini dicuci dengan oleh Orde baru dengan cara berpikir bodoh sehingga kita sama sekali tidak sadar, apalagi memiliki niat untuk merubahnya. Otak ratusan juta penduduk di Indonesia seolah puas dengan berbagai kondisi yang ada. Memaklumi dan membiarkan, karena ‘buat apa gue pikirin. Yang penting kita dapat makan, dapat kekuasaan, bisa bekerja, dapat status sosial. Itu saja. Sudah cukup. Tak perlu kita berpikir seperti apa Indonesia. Benar-benar mengerikan.

Negeri ini adalah produk kolonialisme ratusan tahun. Namun, penduduk negeri ini juga harus membangun kesadaran akan arti pentingnya keunggulan di tengah bangsa lain. Lihat, secara budaya saja, kita ini betul-betul keterlaluan menjadi bangsa yang suka meniru-niriu (imitasi). Kita dijajah, dan anehnya lagi konstruksi berpikir ini menjadi dominan di kalangan anak muda. Rambut dicat merah, potongan ala Jepang, bangga berpakaian seperti mereka, mendirikan band untuk menyanyikan lagu-lagu Jepang.

Ini seperti fenomena baru yang kutangkap dan menunjukan betapa hancurnya identitas kita sebagai bangsa. Kita lebih bangga menjadi ‘bangsa lain’ dan dengan sadar menyerahkan kepribadian diri untuk seperti mereka. Alamak, inilah zaman dimana kita butuh pemimpin yang bisa mengingatkan dan mampu melawan dominasi imitasi. Termasuk tentu saja imitasi dalam sistem ekonomi politik yang seperti kecanduan obat, kita terus menelan pemberian negara-negara kuat. Neoliberalisme menggerayangi, memasuki alam pikir kita dan para penguasa. Tak ada yang mampu melawan.

Teriakan itu sayup-sayup. Lalu, menghilang, muncul tapi terus terdengar lirih. Yang ada bangsa ini tetap saja kehilangan spirit, élan vital dengan nasionalisme yang semestinya menjadi payung bahkan perangsang melawan itu semua. Kita telah mati sebagai bangsa! Para pemimpin kita adalah budak-budak matrealisme dan kerdil untuk melawan kedigadayaan bangsa lain. Pertumbuhan ekonomi menjadi dewa, padahal apakah iya kemandirian kita tumbuh untuk berdiri di bawah kaki sendiri. Menyatakan, kami bisa mengurus negeri ini sendiri, tanpa anda dikte. Brengsek, mereka yang hanya punya nafsu kuasa, tapi menciptakan spiral rasa menderita pada ratusan juta anak negeri.

Indoneisa adalah warga dunia ibarat buih. Ia mudah ditiup kemanapun, untuk kemudian hilang tanpa bekas. Sungguh kebanggan itu mesti dipacu kembali. Rasa percaya diri, harga diri sebagai bangsa besar harus ditampilkan. Secara budaya kita dihancurkan dan (dengan sukarela) menghancurkan identitas diri sendiri. Secara politik, kita menjadi bonsai di tengah tipu dan keinginan sang adidaya. Secara ekonomi, kita peminum anggur neoliberalisme yang sangat doyan sehingga setiap saat kita mabuk dengan kegembiraan dari nikmatnya anggur kematian ini.

Bangsa ini, punya satu masalah besar; ketiadaan kepercayaan diri untuk besar. Pemimpinnya bertubuh besar, tapi mentalnya kecil dan kerdil. Pemimpinnya secara fisik tinggi semampai, tapi visinya tidak lebih dari setinggi pohon ciplukan. Masih kalah dengan pohon perdu apalagi pohon yang berkayu. Kebanggan yang harusnya diberikan melalui mereka atau dengan symbol-simbol baru, seperti tidak pernah menjadi agenda utama. Ya, negeri besar ini perlu pemimpin besar. Bukan orang yang tinggi besar, tapi orang dengan visi besar. Menegakan republik, untuk percaya diri setara dengan bangsa-bangsa lain.

Kita jangan pesimis. Demikian Anies Baswedan mengharap. Jangan biasakan diri kita, apalagi secara berjamaah untuk pesimis. Karena pesimis itu tiada gunanya. Kita bukan pesimis, tapi sedang berkaca. Menilai diri sendiri sehingga mampu membangun kesadaran agar bisa keluar dari persoalan dengan membangun optimisme. Tanpa kemampuan mencandra diri sendiri, mengaca apa yang sedang terjadi dengan kondisi kita, maka lingkaran setan akan terus berjalan. Ratusan juta penduduk dan otaknya yang maha dahsyat, akan menjadi mati dan berubah sebagai mayat berjalan tanpa sedikitpun keutamaan yang dihasilkan. Ya, bangsa ini perlu orang-orang besar kembali yang muncul untuk melepaskan diri dari penjajahan dan inferioritas. Seperti kata Gus Dur, kita butuh pemimpin yang bisa memiliki kemampuan merespons berbagai persoalan dengan ramuan yang dihasilkan untuk kemajuan bangsanya. Sudah cukuplah kita dengan kondisi seperti ini. Mesti ada perubahan dan mari kita bersama juga ikut melakukannya!!!

Catatan dari pinggir Jakarta, Bekasi 
24 Januari 2008

Comments

Popular posts from this blog

Mengintip Kehidupan Lokalisasi di Batang (2)

Makam Syeikh Maulana Maghribi Wonobodro, Batang

Mengintip Kehidupan Lokalisasi di Batang (3)