Haji, Antara Spiritualitas dan Naik Kelas Status Sosial


Di minggu-minggu ini, jamaah haji Indonesia pulang ke tanah air dari tanah suci. Penyambutan masyarakat pada orang-orang yang pergi berhaji terlihat antusias. Mereka menyambut kedatangan para tamu Allah tersebut dengan kegembiraan. Demikian juga mereka yang pergi berhaji terlihat gembira karena sudah memenuhi rukun Islam yang kelima.

Haji merupakan perintah agama. Maknanya sebagai salah satu wujud ketaatan umat muslim pada Allah dan Rasul-Nya. Untuk berhaji, dibutuhkan niat yang sungguh-sungguh serta kekuatan seperti fisik dan juga keuangan yang memadai. Keuangan yang memadai karena untuk bisa ke tanah suci harus melewati banyak negara dan waktu yang cukup lama.

Kita bayangkan, bagaimana orang-orang di masa dulu yang berangkat haji. Di masa kini, secara transportasi tidak mengalami kesulitan karena ada pesawat, dan 1,5 hari atau 2 hari sudah sampai. Ada kemudahan karena teknologi yang mendukung. Namun di masa lalu, untuk bisa berhaji mungkin perlu waktu berbulan-bulan.

Sebab harus melalui rute transportasi yang tidak mudah. Selain transportasi darat yang bersifat manual, juga kapal melalui sungai atau laut. Kita tentu bersyukur hidup di era masa kini atau globalisasi, dimana jarak dan waktu sekarang tidaklah menjadi masalah. Ini karena perkembangan teknologi yang memudahkan urusan manusia.

Orang yang berhaji secara personal tentu diharapkan kehidupan spiritualnya meningkat. Ini karena haji bukanlah sekedar perjalanan biasa. Tapi juga perjalanan spiritual. Ada nilai-nilai transendensi yang dilakukan. Dengan berhaji orang diharapkan semakin bertambah keimanan dan ketaqwaanya.

Selain itu, semangat untuk mengaktualisasikan semangat keIslaman juga diharapkan terus meningkat. Nilai-nilai ketahuidan diharapkan semakin kokoh terpatri. Tidak hanya dalam konteks personal tapi bagaimana menterjemahkan dalam kehidupan sosial.

Pak Kaji dan Bu Kaji

Namun ada yang menjadi catatan serius dari soal haji ini di tengah masyarakat. Orang-orang yang sudah berhaji biasanya akan mendapat tempat lebih khusus di masyarakat. Mereka biasa disapa dengan  nama '' J i '', '' Pak Kaji'', '' Bu Kaji '', '' Mbah Kaji ''.

Sapaan ini bagi yang tidak jeli dalam melihat fenomena sosial merupakan hal biasa. Namun, jika ditelisik, sapaan-sapaan tersebut seperti menempatkan orang-orang yang berhaji dalam kelas tertentu. Mereka dinilai memiliki ''kelebihan'' karena sudah berhaji. Status mereka naik, dan mendapat tempat khusus di tengah masyarakat.

Kita tentu tidak mempermasalahkan hal tersebut. Namun ketika ibadah haji yang tujuannya adalah bersifat substansif spirtual kemudian berubah menjadi bersifat personal artifisial, termasuk riya atau menempatkan orang-orang yang berhaji seperti di kelas tertentu tidaklah tepat. Karena kita tidak memungkiri, ada orang-orang yang merasa posisinya ''lebih'' dibanding orang lain setelah berhaji.

Mereka merasa status sosialnya lebih tinggi di tengah masyarakat, bahkan melahirkan kesombongan.Jadi bukan pada aspek peningkatan spiritual yang bersifat transendensi, namun berubah pada hal-hal yang bersifat keduniawian. Tentu ini tidaklah benar. Karena itu menempatkan ibadah haji kemudian turun pada hal-hal yang materialistik, bukan kedalaman dalam beragama. 

Ironisnya, ada juga orang-orang yang berhaji secara perilaku kurang menunjukan hal-hal ideal. Termasuk yang dipertontokan oknum atau sebagian tokoh-tokoh nasional maupun tokoh publik. Tidak semua memang, dan lebih banyak orang-orang dengan status haji yang perilaku sehari-harinya sangat baik dan lebih bagus daripada sebelum berhaji. Namun, adanya orang-orang seperti itu menunjukan bahwa haji jangan sampai berhenti hanya pada saat ibadah tersebut dilaksanakan.

Pasca itu juga harus terus tertanam dan tertransformasi dalam bentuk nilai-nilai, perilaku dan sikap di tengah-tengah masyarakat. Haji juga jangan sampai justru diturunkan menjadi status sosial karena agama tidak mengajarkan hal tersebut. Sebab orientasinya berubah menjadi keduniawian, bukan lagi spiritualitas dan transendensi. Haji adalah kekuatan transformasi diri dan sosial agar nilai-nilai agama bisa teraktualisasikan. Dimana spirit tauhid menjadi kekuatan; Tuhan adalah faktor utama kehidupan, dan merealisasikan hadirnya nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. (trisno suhito)  




















Comments

Popular posts from this blog

Mengintip Kehidupan Lokalisasi di Batang (2)

Makam Syeikh Maulana Maghribi Wonobodro, Batang

Mengintip Kehidupan Lokalisasi di Batang (3)