Pelemahan Rupiah dan Kesadaran Menjadi Bangsa Produsen



Setelah gemebyar Asian Games Jakarta-Palembang yang membanggakan, kita dikejutkan dengan persoalan ekonomi serius. Dollar semakin perkasa, dan rupiah terus loyo. Informasi di media dan media sosial bergulir, 1 Dollar US sudah menyentuh Rp 14.930 sore ini. Angka ini sudah hampir menyentuh batas psikologi, Rp 15.000.

Meski penguatan dollar AS terjadi terhadap mayoritas mata uang dunia, namun pelemahan rupiah harus diwaspadai secara serius. Nilai tukar rupiah sebesar ini disebut merupakan yang terendah sejak 20 tahun lalu. Secara psikologi, nilai tukar rupiah yang terus anjlok membuat sentimen negatif. Jika sudah menimbulkan kepanikan, maka akan sulit dikontrol.

Ini memunculkan kekhawatiran sekaligus menjadi lampu kuning dunia ekonomi. Selalu disampaikan, kondisi ekonomi saat ini disebut jauh berbeda dibanding krisis ekonomi 1998. Apa yang disampaikan pemerintah atau media, adalah optimisme untuk menangkal keadaan. Jangan sampai di tengah anjloknya rupiah, orang semakin terjerumus dalam kekhawatiran.

Menghindarkan diri dari pesimisme yang sangat terkait dengan psikologi. Sebab begitu pemerintah menampilkan diri rasa pesimisme, maka rupiah akan semakin babak belur. Karena persoalan nilai tukar rupiah juga erat terhubung dengan psikologi.

Meski selalu dikatakan, stabilitas ekonomi kita aman dan jauh dari krisis, kita harus tetap WASPADA. Dulu saat 1998, sebelum krisis moneter melanda, juga disampaikan bahwa fundamen ekonomi kita kuat. Tidak terdapat masalah meskipun sinyal-sinyal ekonomi mengarah pada terjadinya krisis. Kenyataanya, terjadi krisis. Kini, kita tidak boleh lengah. Sekecil apapaun informasi terkait sinyal yang ada, harus jadi perhatian serius, apalagi pada kalangan dunia ekonomi. Karena yang kita hadapi sekarang ini adalah gelombang dunia.

Kita tidak bisa lagi menggantungkan sesuatu hanya pada situasi di dalam negeri. Di dalam negeri bisa dikontrol, tapi aspek global tidak bisa karena keterhubungan situasi dunia internasional yang semakin determinan.

Krisis keuangan yang terjadi di Turki, Venuezvela dan Argentina merupakan contoh bahwa kesiapsiagaan harus dilakukan. Jangan sampai lengah. Kalau lengah, maka akan bisa terjerembab. Kenaikan dollar akan bisa memukul industri dalam negeri. Tidak hanya industri kelas atas, tapi juga usaha kecil menengah dan mikro.

Kenaikan dollar juga membuat kekhawatiran semakin menggunungnya utang. Apalagi Presiden Jokowi dalam empat tahun ini menjadikan utang sebagai prioritas untuk menggenjot pembangunan infrastruktur.   Kenaikan dollar tentu akan membuat anggaran negara semakin terengah engah untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang. Angkanya tidak main main, mencapai triliunan rupiah.

Negara Produsen

Analisis Kwik Kian Gie menarik terkait situasi sekarang ini. Ada dua faktor yang membuat kondisi ekonomi melemah. Pertama, pengusa dan para pembantunya tidak paham dengan praktik ekonomi, melainkan hanya fasih menjalankan teori. Kedua, struktur kebijakan pemerintah saat ini terlalu liberal sehingga spekulasi di pasar keuangan sangat tinggi. Berbagai faktor dicari apa yang membuat rupiah terus loyo. Seperti neraca perdagangan yang terus mengalami defisit. Mata uang negara-negara yang memiliki defisit transaksi berjalan diprediksi akan terus tertekan.

Kita tentu tidak ingin Indonesia kembali mengalami krisis ekonomi. Dalam konteks perdagangan, salah satu kekuatan agar kita bisa lebih kuat dalam menghadapi krisis adalah bagaimana neraca perdagangan kita bisa positif. Persoalannya, Indonesia sekarang ini bukanlah negara produsen. Mayoritas dari kita adalah konsumen. Kita terus mengandalkan sumber daya alam, sementara di luar itu, belum bisa sepenuhnya diandalkan. Gap impor dan ekspor kita selalu lebar. Karena masih menjadi bangsa importir dan konsumen, maka defisit neraca perdagangan kita tidak berubah.

Di tengah mendekati proses politik Pilpres, mari kita hilangkan sikap-sikap permusuhan. Tidak ada gunanya membangun sikap permusuhan antara pendukung Jokowi-Prabowo bagi bangsa ini. Di media sosial, kita prihatin karena kuatnya percakapan soal permusuhan pendukung keduanya. Itu kekanak-kanakan dan tidak baik bagi demokrasi. Di tengah situasi seperti sekarang ini, orang harus mulai memikirkan, jangan hanya terfokus pada dunia politik. Dunia ekonomi juga harus mendapat porsi perhatian yang lebih kuat. Jika kita terbiasa membelah diri dalam perbedaan karena politik, maka kekuatan ekonomi kita akan melemah. Software berpikir masyarakat Indonesia diharapkan lebih mengarah ke soal ekonomi, bukan politik.

Sebab di negara-negara yang sudah maju, maka pengembangan ekonomi yang dominan dilakukan. Ekonomi adalah kekuatan bangsa. Karena itu, budaya memproduksi atau menjadi bangsa produsen harus terus didorong. Ini agar kita tidak hanya fasih menjadi bangsa pemamah barang-barang produksi bangsa lain, tapi juga menguasai arah perdagangan itu sendiri. Termasuk mengekspor ke negara-negara lain. Tidak mudah memang, tapi harus ada kesadaran ke sana. Dengan demikian, kita akan kuat dan terhindar dari situasi defisit neraca perdagangan yang (bisa selalu) menjadi ancaman.

Perhelatan Asian Games yang sukses bisa menjadi contoh, kita bisa asalkan ada effort yang kuat. Keberhasilan ajang ini berkat kesiapan dan kekuatan pikiran bahwa kita bisa menjadi tuan rumah untuk level internasional bangsa-bangsa Asia. Kita juga berharap, dalam dunia perdagangan, optimisme untuk menjadi negara produsen bisa diwujudkan. Tidak mudah memang, tapi harus diupayakan. Minimal di mind set kita ditanamkan, apa yang bisa kita produksi, produksilah. Perdagangkan dan menangkan untuk membangun ekonomi kita dan bangsa.



















 

Comments

Popular posts from this blog

Mengintip Kehidupan Lokalisasi di Batang (2)

Makam Syeikh Maulana Maghribi Wonobodro, Batang

Mengintip Kehidupan Lokalisasi di Batang (3)